Sunday, October 28, 2007

My Favourite Beat

Just the next season is about to come and I am alone in my room, got petrified with the cold breeze. However, I just want to share. Everyday listening to UVERworld cheers my mood up but lately I was caught up by my friends listening lots of Koda Kumi and Crystal Kay’s song. Moreover, my senior recommended me to tune more to Greeeen [ini bener lho ‘e’-nya ada 4] and I remembered just one of their songs, which is “Ai Uta” the theme of Final Fantasy.


Indeed, I am the big fan of Visual Kei and common J-rock, but listen them up almost everyday is just pacing up it all… so I have to slow it down. Honestly, I would rather lend my ear to female singers and girl bands nowadays. They are so cute, young, and fabulous. ^0^ Mixed up with fully furnished performance, their style really swings my everyday. Never got bored with their songs I guess. Not to mention Nakashima Mika –as I am listening now- is perfectly talented and was crowned “the female Hyde”. It was on Newsmaker Japan, that most expensive entertainment magazine I’ve ever known.


Another try is Takahashi Hitomi, Horie Yui, Tamaki Nami, Rie Fu and her “Tsukiakari”, Van Tomiko, Pipo Angels, Matsura Aya and her “Ki ga Tsukeba Anata”, Sakamoto Maaya, C-ute, ZYX, Zard, Utada Hikaru, Aki Angela with the remix of the Japanese “Kiss from A Rose”, Yuki from the former “Judy and Mary”, etc. Hmm I also prefer to choose rock band with a girl vocalist like High and Mighty Color [Haikara], The Brilliant Green [Buriguri], and Rythem [was filling one of Naruto’s theme “Harumonia”]. Feels like it’s enchanting to hear Japanese women’s voice. Cute as ever.


But one person I hate much is Hamasaki Ayumi. Yeah, sometimes it’s nice to play her songs but the rest … lagu2nya kayak orang dandan menor banget. Terlalu berlebihan. Ahhh omoidashita!!! Don’t forget to grab Kuraki Mai’songs… 5 star rated. First time I listen to her song was years ago and it was “Love, Day After Tommorow”. Seems all of her songs title are in English. It’s so yesterday but would still remains full of beat on your steps, I guarantee.


takahashi hitomi

Hands up for Japanese female GOOD musicians.

Memaknai Liberalisme dalam Politik Internasional



Di kelas, seumur hidupku belajar teori-teori, yang paling ”kena” adalah tentang pendekatan liberalis, meski tak bisa dinafikan bahwa teori realisme-lah yang paling laku di jagat perpolitikan internasional, soalnya paling relevan dalam praktiknya, baik oleh kalangan jurnalis maupun mereka yang ngendon di ranah pengajaran atau akademisi. Belum lagi banyaknya kebijakan luar negeri yang mengacu pada konsep ini, ya karena realis itu tadi, lebih melihat kenyataan bahwa negara-negara lapar mata akan kekuasaan dan membenci pemikiran munafik dan idealis akan utopia perdamaian.



Lalu, yang menjadi pembeda liberalisme dengan teori realisme adalah teori ini terasa lebih manusiawi, walaupun ada misi terselubung dalam maksud-maksud pasifis yang terdapat di dalamnya. Banyak orang menilai kebebasan yang ditawarkan dalam liberalisme adalah tidak bertanggung jawab dan absurd, padahal tidak demikian adanya. Sebaliknya jika melihat pendekatan lain seperti idealisme, realisme, dan –isme lain, kita akan melihat adanya perbedaan tingkatan manfaat dan besarnya political will yang berhasil didapatkan dari aktor internasional untuk membina keseimbangan.


Liberalisme berangkat dari kesejatian, di mana esensi hidup menjadi manusia sangat dihormati. Kebebasan, pembebasan, kemerdekaan, keadilan dan hak asasi menjadi pemersatu dalam konsensus yang selama ini dibikin orang. Dalam perkembangannya teori liberalisme lebih banyak menekankan pada hal lain selain perebutan pengaruh di bidang hard power, yaitu pengalihan perhatian orang pada teori ekonom-ekonom barat. Orang liberal tidak memusingkan bagaimana perdamaian akan tercapai atau bagaimana kesejahteraan akan mengganjar orang yang rajin, namun lebih menaruh fokus akan prosesnya. Bagi liberalis, konflik itu mendewasakan, dan orang jadi saling tergantung karenanya [baca:membentuk aliansi].


Kedua, liberalisme menganggap kedudukan aktor-aktor politik internasional adalah setara. Baik aktor negara maupun non-negara seperti non-govermental organizations atau [NGOs] dapat memiliki bargaining position yang sama besarnya dan sama berpengaruhnya. Lebih daripada itu, pengakuan akan kepentingan individu dan kelompok individu mendapat porsi yang besar, namun bukan berarti tak berbatas. Negara sebagai lembaga paling kompleks juga turut berperan dalam merumuskan berbagai kepentingan itu dan menjadikannya integral. Nah, untuk itu, individu akan berkumpul dan membentuk kelompok yang mampu menyampaikan aspirasinya, tak peduli mau gagal atau jadi booming karena yang penting adalah prosesnya. Yang penting juga adalah semua orang bisa ngomong dan tidak ada yang melarang. Dan itulah yang sangat kurang di negeri kita ini. Cuma yang tua aja yang bisa ceramah, yang tua harus didahulukan. Tanpa mengurangi rasa hormat, itu sangat feodal dan merusak keharmonisan, karena banyak hal potensial yang terpendam, yang bikin lambat maju. Kelompok minoritas ditekan dan diintimidasi. Kayaknya ada yang ketakutan tuh. Belum lagi politik identitas [yang masih tetap berdiri di Amerika sana] menambah kekuatan negara untuk bungkam dan angguk-angguk pada kepentingan masyarakat kebanyakan.


Agresifitas negara harusnya bisa ditekan dengan mengadopsi paham satu ini. Dengan menempatkan negara sebagai perumus kepentingan dan tempat sampah aspirasi, elite negara akan lupa dengan hasrat peperangan dan hopefully akan membentuk Pacific Union dengan lebih memperhatikan bagaimana ekonomi berjalan daripada beli granat dan pesawat, meski itu juga penting, sih.


Hipotesa utama dari tikus berkedok liberalis ini adalah :

  1. Ketergantungan ekonomi antarnegara yang lebih besar akan menurunkan kemungkinan resiko akan terjadinya perang. Maksudnya, negara akan lebih senang bekerja sama daripada perang soalnya lebih menguntungkan.

  2. Menerapkan demokrasi menjadikan kemungkinan untuk berperang menjadi lebih kecil dibandingkan dengan perebutan kekuasaan.


Tanda yang lain dari sistem yang liberal adalah terintegrasinya kepentingan dunia dalam organisasi internasional. Contoh yang paling ”jadi” adalah Uni Eropa, yang asalnya cuma bermain kerja sama di level pertambangan besi dan batu bara saja. Namun organisasi lain cenderung membiarkan dominasi tampil tanpa kontrol seperti WTO. Oh ya, liberalisme sering juga dihubungkan dengan kapitalisme dan diidentikkan dengan itu. Wah mungkin kapitalisme ini turunannya ya. Menurut Angell dan Schumpeter, kapitalisme adalah hasil dari evolusi ekonomi dunia yang akhirnya matang. Terus katanya lagi, kapitalisme juga menandai akan berakhirnya perang fisik. Kalau menurutku tidak juga. Seperti perang Irak dengan ironi war for oil-nya, ini bukti kapitalis tetap membuat peluru bersarang di kepala orang.


Konsep liberalisme menjadi kurang terang ketika ia dilihat hanya saat mati lampu, di mana orang malas dan apatis berhenti mengembangkan potensinya. Orang mempersalahkan kompetisi yang sangat ketat dalam liberalisme sebagai biang dari segala masalah penyakit sosial. Namun faktanya masyarakat dunia peduli soal ini, karena kemiskinan ternyata menular. Untuk itu digagaslah Millenium Development Goals [MDGs] yang agak macet belakangan ini. Tapi yang penting kan usaha, hehe...


Sebenarnya ada beberapa masalah yang tidak dijawab olek perspektif liberal ini. Mungkin tentang masalah tentang bagaimana perang tidak akan berakhir meski dengan kerja sama ekonomi yang masif. Perhitungan tentang proses penghentian atau minimalisasi perang masih tidak dibahas. Padahal penting untuk menunjukkan bagaimana kemajuan ekonomi sebagai fokus liberalisme akan membendung keinginan untuk berkonfrontasi dengan korelasi positifnya. Tapi satu pembelaan, bahwa liberalisme telah mampu menyadarkan orang tentang nilai kemanusiaan dan banyak menyatukan persepsi banyak gelintir para pembuat kebijakan.


Orang Jepang jaman Meiji dan Taishou bilang "fukoku kyouhei"... Negara yang kaya, militer yang kuat. Gabungan liberalisme dan realisme?

Tuesday, October 09, 2007

Vacation's Haste

Packing adalah cara kita mengemas barang-barang yang akan kita bawa di dalam tas atau ransel. Biasanya dilakukan saat kita akan bepergian dalam waktu yang lama. Nggak perlu jauh, kalo lama walaupun cuma numpang tidur di kos temen kan pasti butuh banyak pakaian buat dibawa. Yang bikin sebel adalah banyaknya barang yang dibawa padahal kapasitas tasnya terbatas. Uugh berat.. apalagi bukan cuma baju, kadang2 stok makanan pun turut menyita tempat. Hal yang bikin gerah terutama buat orang2 yang lebih mengutamakan bawa makan daripada pakaian [ini sih aku, hehehehe.... *tawa setan*].Apalagi pas musim orang mudik begini [duhh nggak ikutan mudik nih T_T masih nanti hehe :D]

Sebenarnya packing adalah suatu seni tersendiri yang membawa efek rasa puas yang melegakan jika kita bisa mengaturnya dengan rapi dan efisien. Aku jadi inget waktu ikut Pramuka dulu. Tapi buat yang cuma traveling biasa, ya nggak perlu repot kayak mo ikut jejak petualang. Tas yang akan kita pake bepergian sebaiknya waterproof kalo perlu bulletproof --->anti peluru geto [emangnya mo perang!!] Pakaian berat seperti jaket, selimut, dll pokoknya yg lebar2 ditaruh di bagian tas yang paling dasar, disusul di atasnya ditumpuk dengan pakaian kita sehari-hari atau pakaian rumahan gt deh pokoknya. Nah, pakaian yang akan kita pakai untuk kegiatan/acara baru ditaruh di atasnya lagi. Ingat pokoknya baju jangan digulung nanti cepet kusut. Oh ya, baju2 dari bahan yang cepet kusut sebaiknya ditaruh di tengah2 tumpukan isi ransel biar kekusutannya gak tambah parah.

Lanjut, di tumpukan paling atas baru ditaruh pakaian dalam, alat mandi dan toiletries [handuk, bedak, sabun dsb], serta kaos kaki, sepatu, sandal, alat tulis buku dll dan topi dan sebangsanya kayak sepupu ku yang jg sampe bawa catok n hair dryer segala!! Nah penataan ini berdasarkan urutan pakaian yang paling kita butuhkan sampe yang paling less-priority [nggak sering dipake]. Pertimbangannya, mandi dan bersih-bersih serta pakaian kegiatan kan yang paling mendesak, jadi agar tidak merusak tatanan yang kita buat waktu packing [maksudnya biar gak bongkar2 tas lagi] maka kita taruh di bagian atas.

Lalu obat dan makanan [baca:snack] ditaruh mana dong? Hmm sebaiknya kita membawa botol minuman ukuran travelers’ pack jadi kita punya tempat minum sendiri n ga bw yang kemasan. Supaya gak tertukar dan gak bocor di dalem tas. Kalo sekali2 butuh maem n minum kan gampang. Ini ditaruh di kantong2 tas ransel kita di bagian terluarnya, terutama di bagian sampingnya supaya nggak penyet/gepeng kalo nggak sengaja diduduki atau disandari. Terus di kantung yg lain baru kita masukin obat bwt jaga2 plus tisu, saputangan dkk... Begitu lho. Kalo makanan sih bisa juga ditaruh di tas plastik ato tas karton kalo bawanya banyak.

Itulah seninya packing... yang perlu diinget jangan sampe ada ruang kosong dalem tas soalnya ya percuma aja, gak efisien. Tas harus diisi semaksimal mungkin supaya gak menyita banyak tempat dan sebelum berangkat periksa kondisi tas supaya bisa melindungi barang-barang kita dengan baik. Yosh... semua udah siap... selamat jalan, bon voyage... michi de ki wo tsukete yo... omyage ga wasurenai de ne?!

Aduh. Packing itu memang yang paling bikin males. Tapi perginya bikin senang. Perjalanan selalu menyenangkan buatku, asal cuaca dan jalan bagus,plus gak macet n mogok. Heh langsung bablas dah. Pengalamanku yang paling ngebetein tuh pas tahun baru 2000. Semua orang kayaknya mau ke Bali kayak aku... Wuih apalagi katanya ada acara tahun baru milenium di GWK itu, turis2 pada bejubel waktu itu. Waktu itu aku naik mobil sekeluarga. Berangkat subuh2 dengan harapan biar gak ngantri lama di pelabuhan Ketapang,plus ngebut2 dikit gt lah. Brrrrrmmm.......

Sialnya, DELAPAN kilometer sebelum pintu pelabuhan, terjadi macet besar2 an karena kapal Ferry yang ada cuma sedikit jadi nggak bisa nyeberangin mobil2 yang segitu banyaknya [walo sebenarnya udah ada penambahan unit Ferry sih]. Kendaraan pada merayap nggak jelas dari kedua arah Gilimanuk dan Ketapang. Pokoknya sehari semalem mobil2 ngantri. Seingatku pas tengah malem besoknya baru bisa ngantri di pelabuhan. Aduh bete banget. Makan minum susah, mana bensin stoknya abis.

Kalo lagi jam penyeberangan, sopir2 pada tidur termasuk bapak ku. Gak peduli tu di sebelah kandang sapi ato depan kantor lurah. Hehe... Yah keluarga di Bali selalu memantau lewat siaran TV sambil sekali-sekali telepon nanyain udah sampe di mana. Kalo nggak salah waktu itu aku menghitung dari mulai ngantri sampai masuk Gilimanuk tuh ngabisin sekitar 26 jam bo’!!!

Huh nggak lagi deh yang kayak gitu. Mana gak sempat mandi n santai2. Tapi seru juga lho buat dicerita2in, apalagi banyak kejadian aneh yang ku alami sama keluarga. Merasa menjadi manusia super setelah mampu bersabar melewati rintangan itu. Hoho yah begitulah namanya mudik, deritanya tiada akhir...Kya hahahah ^o^ Yang penting perhatikanlah packing-an mu hyeha!!
Hmm miss ya there friends... Apalagi katanya sepupuku lagi ada di Malang...
Aku nggak di sana.. -_-; pengen pulang. Pengen masakan mamipapi.... T_T

Thursday, October 04, 2007

Reciprocated Unilateral Measures, Strategi Jitu Pilihan Sendiri



Dalam menganalisa situasi keamanan internasional, seringkali dibutuhkan prediksi lebih lanjut untuk menelusuri perkembangan konflik yang mungkin terjadi, khususnya pada isu pengandalian senjata (arms control). Salah satu metode yang cukup relevan adalah dengan diadakannya pertemuan di antara pihak yang bertikai untuk kemudian menghasilkan kesepakatan internasional serta membentuk rezim keamanan.

Namun seringkali banyak konflik yang memasuki tahap deadlock alias kebuntuan yang disebabkan oleh benturan kepentingan sehingga kerja sama tidak dapat terjadi. Belum lagi masing-masing pihak tidak memiliki niat secara transparan untuk memaparkan peta kekuatan fisiknya masing-masing, sehingga kecurigaan di antara pihak yang bertikai semakin meningkat. Untuk itu, salah satu model alternatif yang mungkin digunakan ialah Reciprocated Unilateral Measures (RUMs). Model ini digunakan sebagai srategi di mana masing-masing pihak yang bertikai melancarkan tindakan sepihak untuk mempelajari reaksi lawannya, namun tidak secara serta-merta berniat memancing ketegangan. Insentifnya dapat berupa eskalasi ataupun penurunan ketegangan konflik. Strategi ini hangat-hangatnya digunakan saat Perang Dingin justru di mana peperangan fisik sangat jarang terjadi.

Tujuan RUMs ini adalah :
1. Mengurangi ketegangan dan memulai proses tawar-menawar yang lebih kooperatif dengan pihak lawan.
2. Memancing tindakan balasan/serupa dari pihak lawan
3. Mengurangi aktivitas kemiliteran di antara aktor yang bertikai tanpa bermaksud melonggarkan pengawasan satu sama lain.

Intinya strategi pengondisian RUMs ini diharapkan dapat mengurangi tingkat konflik yang sedang dihadapi, tanpa harus melalui sebuah persetujuan dengan lawan serta dapat dengan fleksibel mengaplikasikan instrumen tindakan yang lebih subjektif. Lawan diharapkan juga mengikuti tindakan yang diambil, terutama dalam usaha pengurangan tingkat ketegangan konflik. Hasilnya bisa sukses bisa juga gagal.

Untuk memperjelas aplikasi strategi ini, kasus Strategic Arms Reduction Talks Treaty (START II) yang sempat buntu menjadi relevan. Salah satu peristiwa setelah penandatanganan traktat START II, Amerika Serikat (AS) mengumumkan secara sepihak bahwa telah ada perlucutan sekitar 200 hulu ledak peluru kendalinya. AS tentu saja berharap agar Rusia juga melakukan hal serupa dengan melakukan deaktivasi rudalnya juga, walaupun mungkin AS memiliki kesempatan untuk melakukan defect atau bahkan bisa jadi harapan AS tidak tercapai jika Rusia masih bersikukuh untuk defect.

Selain itu ada 2 strategi yang mungkin untuk mencapai situasi di mana keadaan RUMs diharapkan terjadi. Strategi tersebut adalah :

1. Graduated Reciprocation in Tension Reduction (GRIT)
Suatu pihak membuat paket tindakan sepihak yang disertai dengan penambahan mekanisme akomodasi secara berkala/bertahap. Jadi diharapkan pihak rival mau melakukan apa yang kita inginkan, sambil kita berikan insentif/imbalan agar rival pelan-pelan mau mengikuti tindakan kita. Lawan juga kita harapkan agar turut bersikap lebih percaya pada kita di tengah ketidakpastian. Begitu seterusnya hingga seluruh paket kebijakan terlaksana, tak peduli apakah lawan mengikuti pola sesuai ekspektasi kita atau tidak.

2. Tit for Tat (TFT)
Diinisiasi dengan langkah suatu aktor yang sepihak, di mana tindakan tersebut sangat mencerminkan adanya fluktuasi resiprositas yang lebih kentara. Jika ada suatu pihak yang melakukan tindakan yang memancing konflik, maka rivalnya akan membalasnya dengan tindakan serupa. Sebaliknya, jika sebuah pihak menunjukkan itikad baik dalam penurunan ketegangan, lawannya akan mengikutinya juga. TFT juga merupakan model yang sangat dinamis, karena reaksi retaliasi lebih cepat muncul begitu ada tindakan pemicu.


3. Conditional Reciprocity (CR)
Strategi ini lebih menitikberatkan pada proses tawar-menawar di saat proses resiprositas berlangsung. Pihak yang berinisiatif terlebih dahulu juga mengharapkan resiprositas, namun bentuk resiprositas tersebut justru ditentukan dari pihak inisiator. Inisiator juga membuat inisiatif berdasarkan harapan mereka akan tindakan rivalnya. Jadi, inisiator memikirkan skenario apa yang akan membuat lawan melakukan hal yang setidaknya serupa, bahkan jika bisa, agar mengimplementasikan bentuk resiprositas yang diharapkan. Sukses atau tidaknya resiprositas tergantung dari proses tawar-menawar tersebut. Represi dapat juga terjadi dalam CR ini agar penyelesaian cepat dicapai.

kuliah yang keren meskipun bukan minatku... lumayan juga. Aku nggak tau terjemahan ini bener apa nggak ya hehe jd jgn mpe sesat pikir (-_-;)
ada gunanya. strategi memang diperlukan, terutama buat mengamankan isi kocek.boleh tuh dipake, yg GRIT buat diaplikasikan ama mami papi huhehehe.... aduh gak punya sense kemamanan nih..
:P

Hero's Come back... later

Orang timur bilang kalo semua hal perlu tata cara,unggah ungguh, awig-awig, atau apa namanya lah. Kalo masuk harus ketok pintu, kalo pergi harus pamit. Harus selalu ingat keluarga, harus sopan saat bicara sama yang lebih tua. Tapi lebih senang rasanya jika nggak jadi pusat perhatian dan pusat penilaian gara-gara tata krama. Soalnya tata krama kadang tak fleksibel, tidak berdasar dan social order yang diharapkan malah menjadi chaos semata.

Termasuk kalau anda tiba-tiba kabur dari kerumunan tanpa jejak, tanpa pesan. Apalagi jika kerumunan itu adalah orang-orang terdekat anda dan mereka merasa dikhianati setelah anda pergi dalam sekejap dengan tidak satupun konfirmasi yang anda berikan. Mereka merasa tidak dipercaya, serta tidak begitu berharga bagi anda untuk sekedar dipamiti, misalnya. Lalu pas anda balik ke kerumunan itu, sudah nggak ada tempat lagi bagi anda. Mungkin udah diisi orang baru. Yang lebih asyik dan lebih patuh, mungkin.

*menghela nafas*
Kadang kita butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kita ke tahap default state, kayak komputer yg harus di-defrag dan kayak mobil yang di-tune up. Mungkin mereka bukan orang yg bisa mengerti hal itu, tapi pasti nanti mereka akan mengerti bahwa tidak semua hal harus diungkap. Termasuk betapa pentingnya orang-orang yang dekat dengan kita sehari-hari. Sekarang, sampai detik ini aku masih sulit menemukan suatu waktu buat benar-benar istirahat. Untungnya aku nggak pernah ngeluh secara langsung akan hal ini dan nggak bikin orang bete karena keluhan tentang itu. Aku juga pernah merasa nggak diterima di kelompokku sendiri, tapi ternyata itu cuman masalah perasaanku aja, dan kejenuhan semua orang yang terakumulasi jadi satu. Untung pula, bukan hanya aku yang mengalaminya.

Kapan ku bisa istirahat. Liburan di bawah sinar matahari dan angin sepoi-sepoi yg bikin ngantuk... Diiringi debur ombak yg menghantam karang... Untuk itulah ku kadang-kadang menghilang tiba-tiba... Tapi yg sekarang ini mungkin...harus dengan kerja keras. Aku selalu mau kabur, pergi tanpa pamit, tapi kesannya gak bertanggung jawab terutama sama diri sendiri. Yah apa daya udah mencapai klimaks. Namun sekarang, lebih dari itu, ada beberapa nama baik dan image yang harus kupertahankan, kalau perlu harus diperbaiki. Memang tugas yg berat, tapi ini pilihan sendiri. Kesempatan sudah didapat mengapa tidak?

Apalagi setelah kembali malah dibuang orang-orang dan tak ada yang menunggu anda kembali.Wah jangan sampe deh. Kupikir, itu cuma perasaan orang yang kesepian aja. Pastikan mood selalu baik. Berpikir positif dan akan ada kerumunan baru di mana orang2 seperti anda akan berkumpul dan bercerita bersama, dan yasudah, pada akhirnya segala sesuatu akan datang dan pergi, orang2nya juga, tapi jangan kehilangan diri kita.

Dan saat kita kembali dgn senyum kemenangan, kita hanya akan mendapatkan apa yang pantas kita dapatkan. Eliminasi semua pikiran jahat...dan terus berjalan semoga semua hal menjadi mudah dalam hidup ini. OSSSO.

Lost Gently

It has been some time since Shinzo Abe had succeeded by Yasuo Fukuda, also from Liberal Democratic Party (LDP). All that left was only disappointment and dissatisfaction from the people to Abe’s governance. The exalting issues like bribery scandals and the abuse of retirement’s fund had colored his era, while in another side it’s a bless for Indonesia to grab a new deal on a more intense economic policy with Japan this year on Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JI-EPA) this August.

However, one thing interesting is the speculation on the reason why Abe finally quits the Prime Minister’s seat. Journalists published that it was just because Abe suffered from stress and a considerable health problem. Those picture on Reuters show us how pale he looked when entering the local hospital. I’m sure he’s not only doing check-ups or probably had a face-off surgery to cover his shameful face after suffering a coup ;D

Well, just to appreciate him, nevertheless, I should agree on Kompas (a daily newspaper) issued on September 25, 2007, that he stands still as a gentleman. It did not take too long to hearing from him to apologize to the people on Japanese media. “I apologize from the bottom of my heart that the people are suffering...,” he said with a low-profile manner, just as the newspaper told. What we could learn here is only about the strength to stand on our feet to beg a pardon from the society. I found it is interesting to contrast it with the circumstances on Indonesia. Even Grandpa Soeharto just flee straight out from the spot when the 1998 revolution took him down, while there were never a single word came out to confess his mistakes on the past 32 years.

How rude those corruptors are, even when they beg the jury to decrease their penalties. I think those guys just not able to feel that what they’d done was a harrashful shame to death. There were never just a piece of word saying “I’m sorry, folks…” to us, the Indonesian people, when Shinzo Abe gently spoke it out to the Japanese. It could be probably due to his samurai blood ;P
Not to mention, Abe was only governing for about one years and he told the media how regretful he was. About how he was failing to keep everything in line and let them torn apart. It’s just about mentality and morality. Too many politicians and political leaders in Indonesia are way too pathetic tho have the line come out from their mouth. Too many of them do not possess a shame feeling and what they do just only saving their faces by lying all the time to cover another lie. Abe ga motto kakkoi yo…!!!*

*)Abe’s cooler!!!

Monday, October 01, 2007

Bad Way with Words

Huwwah... comeback with English content now. He still needs practicing hell many writings here. Oh yeah, few days ago, people in the International Relations (IR) department started to rush upon something. It is exciting to find out that there are people who are not satisfied with something called “quality”. It is not merely about good names, but also about dignity. A guy --let’s call it Mr.DS-- has published opinion that was insanely gone without a strong hold beneath his comment, on the Jawa Pos daily newspaper. He was pointing out about The International Relations GMU’s quality in common. But on the column, the content of the article was out of mind, it was totally distracting the anger and disappointment of IR guys here.


The DS guy was The National Parliament’s member from House of Representatives, and unfortunately also an alumnus of IR GMU. He was telling about how the “quality” of the department had drastically decelerated during these years. However, poorly, this was only stood on how students of IR GMU currently are not that interested to join The Department of Foreign Affairs when they are graduated. Besides, he added that lecturers were low and incompetent anymore compared with those from another universities as well. But the mistake appear again on how he made the statement. By just some experiences he had involved in, he started to make a mere abstract judgement. While trying to criticize the IR folks, he also compared this with the past, about how upon the Amien Rais era, IR had gone wilder that at that time IR was undoubtedly “successful”.

As the fellow IR guys, I am indeed confused with what his purposes were. However, I wonder I doubt if the purpose was really exist… Sorry to say, this DS guy has nothing to speak of. As a debater, a sudden discourse like that seems to be fully debatable. Why? He even didn’t set any scientific parameters that explains how the conditions here are running. I bet people wouldn’t get delighted to read such a trash arguments like those, especially when he himself never gave anything significant to help to contribute the department, as far as I become the student here.

No wonder, a reply from one of the IR’s lecturers, Mrs. Siti Muti’ah, had emerged on the sheet of the newspaper as a resistance move towards the DS guy’s article. Yet, it explains how hurt we were on the articles written. A good try to relieve the pain. Sure it would get the DS guy pissed off after he would have read the replies [because the reply was written on two issues of the newspaper]. IR students were barely satisfied with the clarification, so far.

The war on media currently infiltrated with only political manuvers, but seems the DS guy was taken over by it too much. Yes,he is a politician, but he should have known in what field that he had stepped in. It’s academic field that is entirely different with those on parties or another political stuffs there. His words were completely attacking, and I’m sure it’s non-ethical to piss us off from the very beginning without a single scientific reason.

Enough for technical problems. There we go into the contents. I would never imagine such alumnus would ever just criticize and make a subjective view which only degrade the IR GMU’s image on the society, while he HAS NEVER come there at all cost. It’s a wrong way to perceive society about an issue. He forgot that the society, especially those who don’t know a single thing about IR department at all. Society will get lost. Something that’s already published should be able to uphold its responsibility upon the writer. Especially on depicting the statement which only cornered us, by only saying that our quality –both students and lecturers— is low and presenting just a bunch of missing facts, that we were so lame in actvities, seminars, and also links and connections as well.

On the media, especially journalism, it’s probably had opened more space to the society for speaking up their mind on the media. Just that they could shout the comment up for war to each other… if it’s finally felt not enough to clarify something, the war is not only continued on the seed. Hopefully, it will, hehe… Or there would be a seminar or talk show about it?? No no, just play the game… never trigger sensation.