Thursday, November 29, 2007

Mengenai Melancholy


Mungkin akan sulit bagiku untuk memulai menulis sesuatu yang bernuansa sedikit romansa dan filosofis. Mengapa? Karena mungkin... aku seorang yang lebih praktikal, lebih menyukai proses serta pekerjaan; dan agak menafikan apa yang melatarbelakangi mengapa sesuatu terjadi. Meski begitu, aku juga mendapat manfaat dari merenungi diri dan menelusuri apa yang terus membayanginya dengan mencari penjelasan sendiri. Itulah mengapa title blog ini adalah Eva no Logy no Melancholy. Melankoli menggambarkan diriku dengan sangat tepat.

Beberapa lama belakangan ini, suasana hatiku memang terasa sedikit aneh. Sepertinya ada yang hilang. Makanya menjadikan blog ini sebuah melancholy mungkin suatu pilihan untuk menggambarkan keganjilan yang kualami. Tidak mau terdiam membaca tulisan seorang alien, yang ternyata senior saya Mas Rum, maka aku berniat membuat sudut pandang lain mengenai hal-hal melankolis.
Dalam ilmu psikologi (betulkan ya jikalau salah) terdapat empat macam kepribadian dasar seseorang menurut Sigmund Freud, yaitu Sanguinis, Melankolis, Plegmatis, dan Koleris. Mungkin kalau anda tanya pada ibuku, beliau akan mampu menerangkannya dengan bahasa pemuda-pemudi Indonesia masa kini, terlebih gelar S.Psi telah disandangnya. Khususnya melankolis, dalam tinjauan ilmiahnya (memang) dilihat sebagai suatu keganjilan dan ketidakseimbangan hormonal yang menyebabkan seseorang mengalami guncangan mental. Bisa ringan bisa akut, tergantung gejala emosional yang ditimbulkannya. Hal tersebut muncul ketika seseorang mengalami depresi, takut, dan phobia yang berlebihan akan sesuatu. Hal tersebut telah diteliti sejak sebelum Masehi hingga masa Renaissance di mana semua hal dilukiskan dalam seni yang romantis dan menggugah kehalusan perasaan manusia. Mood atau suasana hati dapat tergambar ketika kita mengapresiasi sesuatu yang menyentuh hati, membuat kita ”ditekan” olehnya.

Misalkan kita mendengarkan sebuah lagu yang romantis, menonton pertunjukan yang menguras air mata, ataupun sekedar bertengkar dengan teman baik; dapat membuat pikiran rasional hilang, dan kita diambil alih oleh guncangan emosional. Banyak perilaku dan ritual, mendasarkan pada emosi akan pencapaian ketenangan perasaan. Sebut saja kaum Yahudi lama yang memuja hari Sabtu demi mendapat perlindungan batin. Kita dapat melihat bagaimana melancholy ada dalam budaya pop, saat aliran musik Emo mulai mendapat tempat di studio rekaman grup cadas. Tema yang diangkat dalam emo merupakan manifestasi sisi gelap manusia, bagaimana depresi dapat mengajak kita bunuh diri, bagaimana kita hancur karena dihantam bumerang kebaikan sendiri, dan terlebih lagi tema cinta yang diangkat juga bernuansa ”tidak bahagia”. Terlebih lagi para pengikut emo membumbui semua itu dengan musik berketukan tinggi frekuensi dan hingar bingar.


Namun lebih dari itu, aku merasa semua orang pasti mengalami ketakutan, depresi, bahkan di bawah sadar sekalipun. Melankoli yang ada di dalamnya merupakan potensi kehancuran bagi diri sendiri. Lalu kita menjadi objek kesedihan orang lain dan menjadi referensi ketidakpatutan. Di samping itu, melankolisme menjadi suatu jalan penemuan diri bagi yang menanggapinya positif. Guncangan mental ini, yang berupa kemarahan, dendam, ketakutan akan dosa dan kematian, psikosis, rasa malu, serta kebencian, sebenarnya memiliki obat yang mujarab yaitu disiplin pengendalian diri. Hal utama yang disyaratkan adalah percaya diri. Dengan memilikinya, berbagai metode dapat dilakukan untuk tidak terlarut dalam emosi. Contohnya memberdayakan pemikiran rasional, disiplin moral, berpantang dan berpuasa, seperti yang diikuti penganut Avicennan.


Jika dituangkan dalam seni, pasti melancholy akan sangat bermakna. Berbagi dengan orang lain juga dapat membuat kita mengerti bagaimana emosi harus dikendalikan. Sekali lagi, aku lebih suka memandangnya dari segi praktikal, meski sesungguhnya melankoli menjadi sesuatu yang kadang merusak, lesu, dan butuh pembebasan. Banyak sekali orang melankolis sangat menyukai hal yang berbau kebebasan, karena secara batin dan utamanya mental, mereka terkurung. Mungkin kita dapat menemukan pembebasan itu, dengan menemukan kekurangan yang sama dari orang lain yaitu penderitaan yang sama. Jika kita dapat berbagi dan merasa senang karenanya, kita akan menjadi seperti conjuctio Solis et Lunae (perkawinan mistis antara matahari dan bulan) yang dipopulerkan Carl Gustav Jung mengenai pendapatnya tentang cinta.

Tuesday, November 27, 2007

Hmm. Just A Thought

Lately, after I came back UGM I have gone ahead to contribute something towards my dark-but-fabulously-shimmering organization, EDS UGM, to become coach for the newbie class of 2007. Half-heartedly I was standing to handle it, but giving your number one priority list is still inadequate for their development, and yet to be easy for me. Not to mention that I plan to practice full-time studying this semester, something that I cannot afford though.

I’ve got three kids to handle in a team training. First thing that I told them was that debate is not a smooth way to go and secondly that they’d not there to learn any more English that of a pro debater could speak. Should they get problems with it; they have to solve it themselves. Other rules of EDS UGM were very clear to begin with, that we would do anything to accomplish achievements so that we could HAVE FUN of it.

Sadly, reviewing this term of training, me and my pair Febrian, found it was more than grumpy street to go. They were so damn lazy and got nothing called motivation and commitment. I’m not going to blame them, but that was the thing happened these times repeatedly. I’ve never seen one could be under-couraged like them. I just began to prepare assessment on matter wise while then they showed no spirit. They even not tried to be proactive, I know probably they got mess ahead on their days but we do have to sacrifice bunch of stuffs if we want to have something on ourselves. Moreover, everyone does busy.

I was so regretful that my shot to be a teacher was washed away. I don’t like people come late without reasonable excuses. I do not like my trainees even didn’t know any single thing called discipline. I’ve went trough a hell of it during my early training at my former entrance to EDS UGM. I hated myself for losing my ability to be strict and though to my kids. It’s a pity if I was taken over by anger, but Febrian did it. Sometimes it sounds though, but it’s necessary after all.

Founders Trophy 2007 and Indonesian Varsities English Debate 2008 are coming, but none of them are mine. I am getting too tired to build my cases and to look for more matters, but it’s just it. I do like debating like crazy and crushing my opponets without remorse. Probably next semester I would be able to increase my presence every Saturday, like I always did before.

Masih Bingung mencari Fokus

Fokus! Itu adalah kata yang sangat penting buatku sekarang ini, dan maunya semua orang bisa mingingatkanku buat tetap konsisten pada apa yang kukerjakan. Tak bisa dipungkiri, menjadi mahasiswa Hubungan Internasional (HI) di UGM saat ini memang terkesan agak santai dalam prosesnya, dan masih relatif dapat dipertahankan untuk diperjuangkan. Mungkin banyak pembelajar dari fakultas ataupun jurusan lain yang agak mengerutkan dahi dan alis ketika mendengar bentuk skripsi mahasiswa HI yang sekilas kelihatannya cuma sebuah studi pustaka atau review saja. Bahkan ditambah fakta bahwa hanya dengan minimal empat puluh lembar bagian pembahasan saja, seorang mahasiswa sudah dapat berdiri di depan dosen penguji skripsi.

Namun ternyata sangat mudah untuk membayangkan bahwa banyak sekali yang kebingungan akan mengangkat masalah seperti apa, seakan-akan dunia politik internasional masih adem-adem saja. Padahal sekarang ini konstelasi politik global sedang mengalami transisi yang demikian cepat hingga dengan tak sadar kita telah berubah pula karenanya. Fenomena globalisasi yang dibarengi gerakan resistensi telah memberi banyak isu untuk dibahas. Isu minyak di Amerika Latin, globalisasi Linux, bahkan fenomena blogging telah memberi jalan baru bagi para pencetus propaganda untuk menyebarluaskan opini.

Di lain sisi, sepertinya aku juga kebingungan. Hmm... mekanisme self-tailoring yang digagas oleh kurikulum HI UGM tahun 2000 juga kurang memberi panduan bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah, di samping sifatnya yang memang membebaskan mahasiswa guna mengambil kuliah yang diminatinya saja. Sebagai gambaran, aku mengambil Minat Topik Ekonomi Internasional, serta Minat Kawasan Asia Timur (China, Jepang, dan Korea Selatan). Seperti kata Pak Yahya Muhaimin, mantan menteri pendidikan era Megawati sekaligus dosen HI, bisnis dan politik ternyata sangat berkaitan dalam dunia internasional. Maka akhirnya aku memutuskan untuk fokus di kedua minat tersebut. Tapi semuanya jadi agak aneh kalau tidak mengambil kuliah yang lain juga. Akhirnya beberapa mata kuliah Minat Pertahanan Kemanan Internasional juga kuambil, plus satu mata kuliah Amerika Serikat. Wah, lumayan juga menjalaninya, namun menggabungkan pengetahuan juga lumayan memeras otak. Terlebih tugas-tugas yang tak pernah berakhir selalu berganti tipe dan metode, semakin menambah semarak bintang-bintang yang berputar di sekitar kepala.

Sekali lagi aku ingin tetap fokus, konsentrasi di sentral belajar yang aku susun. Eh, malah banyak sekali hal lain di luar itu yang menarik perhatianku. Sebagai mahasiswa yang sangat berminat dengan segala kegiatan jurusan, aku dan teman-temanku juga banyak mendapatkan ilmu dari luar kelas. Sudah tak terhitung dari mana saja aku menemukan minat di luar fokus. Akhirnya, aku juga sudah mulai menemukan ide untuk skripsi nanti, dan untungnya aku masih tetap setia dengan Asia Timur. Aku memang suka sekali kebudayaan oriental, terlebih lagi gaya politiknya sangat akulturistik, beda dengan daerah lain di muka bumi ini. Mungkin, nanti aku nulis tentang strategi sekuritisasi ekonomi Jepang pasca renggangnya hubungan Japan Incorporated jamannya PM Satou Eisaku (duh, kenapa aku maniak sekali dengan Japan Incorporated ini ^.^), atau bisa juga pengaruh perkembangan reformasi chaebol terhadap naiknya Kim Dae Jung sebagai presiden. Yah pokoknya temanya itu dulu, judul pastinya nanti dipikirkan habis bertapa, hahahah... (nggak gue banget itu). Huh, jadi teringat betapa aku akan lulus dalam waktu yang agak lama, mengingat kuliahku santai sekali, tiap semester mengambil paling banyak 22 SKS. Memang hal itu tujuannya untuk bisa lebih fokus belajar serta mendongkrak nilai yang lebih optimal. Meskipun bisa dikata IPK-ku memenuhi syarat untuk mengisi 24 SKS penuh di KRS-ku.

Menilik dari hasil belajar sebelumnya, sepertinya lebih fokus menjadi suatu keharusan. Terlebih lagi ada keinginan untuk mencapai sesuatu, kesempatan terakhirku untuk mencapai hal “itu” lagi. Masih mau lagi. Kemenangan mutlak harus ditargetkan untuk maksimalisasi hasil, baik akademik maupun non-akademik. Tapi susah sekali memfokuskan diri itu. Meskipun sudah menetapkan diri dengan melaksanakan study oriented, masih ada saja yang menggangu pikiran di tempat lain... Hmmm hhehehehe... disiplin itu susah. Apalagi aku hidup ditengah orang-orang santai sehari-harinya. Huh.

Hitorikiri dakedo, boku wa chigatte naraba, kurayami de ano shin chikara wa boku ga tasukete yo.

Thursday, November 01, 2007

Don't Make Carbon Commodity

I have already taken the Seminar on The Environment class on the former 4th semester. To put it simple, too many lessons and discourses had fulfill my class and on another corner of my interest, they didn’t really catch the right purpose, which was to bring and to increase awareness on environmental issues as soon. There were two failed class projects and ignored individual projects or another thingy called the seminar itself. However, there are still some things to grab on. I feel that the theories were relevant with the recent tendency on international politics, which has been considered as low politics stuffs and brings you no harm if you let go off it.

Back then, the politics constantly changes and dynamically stands still as a mere movement. Eventually, ignoring environmental issues seems to humiliate the meaning of being a political actor, because they forget where they take advantage. States and political leaders are busy on handling the issues of hard politics and leaving the environment for granted. On the analysis of sustainable development, there should be a balance statue of the human factor, economic factor, and environment factor. When it’s going to get hotter, the politicians finally awake from the dream of wars.

Reconstructing the environment costs us lots of things. Establishing eco-friendly stuffs really tiring us and needs bunch of money to pay for. Moreover, awareness of most guys are low-asses. Because they are poor. Because they are industrialist bourgeoisie. And because they don’t care.
On the next summit of UNFCCC on Bali next December, 3-14, they are going to talk about carbon trading [once again and again]. As the meetings would not let the US guards off from industrial interests, it would be a hard negotiation as always. Carbon trade is an ignorance towards the Kyoto Protocol to limit your greenhouse gases emission. Plus, it allows you to spread carbon more than any states because you are more developed ones. For those who already understand, the US and the blocs are intended not to limit theirs, mainly because it will restrain their industrial activities. The US sees the smoke as a commodity, and it’s the thing that has to be changed on the paradigm. When you buy the right of the developing states to emit more smoke until it gets on the cap, it means that you are buying their right of them to produce more on the factory [which emit gases also, dumb]. In the end, the economic activities, especially the production, will easily being hampered by those carbon traders.

The leaders seemingly start to understand how important this deal is, and should be prepared for a rejection towards the carbon trades. Rather than keeping eye on a trade of smoke, I believe there should be an effort to reconstruct our nature first. It should be that way due to the basics of life. It would be a huge risk on the future of a climate change. The world now needs recovery so badly on reconstructing what’s broken from our surroundings. Unfortunately, the WTO and World Bank had spread claims and discourses that the plan of reducing carbon trade mechanism would find it edges if it doesn’t fit the world trade’s interest of free trade. How lame. Hello, smoke trade isn’t fair to be called such commodity!! It’s undoubtedly the same old song that WTO always meets the deadlocks of farming issues on their every summit, and finally it had come to Hong Kong and failed again. So why are we still defending their bloody wish up to this time? See, it has been coming to be a hard, tough politics to begin with.

They just don’t realize it sucks and would destroy the economy on the future. If we wanted to crumble US down, the carbon trades should be off from the surface of the trading activities, for the sake of themselves also. Not to mention that the global economy is now at its worst level. Adding the matter of carbon trade will not solve the problem of climate change. Let’s begin with saving the energy, and no regret to those who are stupid, because soon… soon they would follow after us.