Saturday, November 26, 2011

Integrasi Ekonomi Asia Timur : Meraba Bentuk Dalam Temaram



Asia Timur merupakan kawasan yang sangat heterogen, baik dari sisi komposisi demografis, kemajuan pembangunan, maupun variasi sistem ekonomi domestik negara-negara di dalamnya. Hal tersebut sedikit banyak memengaruhi proses integrasi kawasan ini. Karakteristik pembangunan kawasan pun ditentukan oleh negara yang paling maju secara ekonomi sebagai episentrumnya, atau disebut flying geese. Selain itu, peran pemerintah yang sentral juga menandai economic governance di kawasan baik secara domestik maupun kerja sama regional.

Telah lama, integrasi ekonomi ditandai dengan kerja sama perdagangan bebas, namun koordinasi ekonomi menjadi tantangan bagi negara sedang berkembang dalam menghadapinya. Kebutuhan akan sumber daya manusia dan infrastruktur memadai, seringkali menjadi hambatan terbesar. Masalah yang relevan untuk diangkat dalam kondisi seperti ini bukan lagi bagaimana negara harus menyesuaikan diri terhadap regionalisme ekonomi, namun bagaimana suatu kawasan harus mampu membentuk pola kerja sama regional yang sesuai dengan karakter kawasan tersebut, bukan hanya imitasi dari sistem integrasi yang telah ada sebelumnya.

Permasalahan tersebut esensial, terutama dalam menghadapi struktur kerja sama ekonomi Asia Timur yang lebih banyak memiliki institusi maupun bentuk kerja sama yang dilaksanakan di Asia Timur. Banyaknya jumlah kerja sama ini tentunya menguntungkan posisi tawar negara sedang berkembang layaknya negara anggota ASEAN, namun juga menyisakan masalah institutional order. Di Asia Timur tidak dapat ditemukan adanya suprastruktur yang megimplementasikan aturan interaksi antar aktor, baik negara maupun non negara.



Hal tersebut dipertegas oleh Baer, et. al. (2002) yang mencontohkan evolusi Mercosur di Amerika Latin yang sangat kurang dalam kebijakan koordinasi. Koordinasi sangat penting sebagai tonggak institusi yang mapan. Hampir pasti faktor kepemimpinan sangat berperan dalam menjalankannya. Namun perebutan posisi “pemimpin” ini kadang menimbulkan ketegangan. Di Amerika Latin, Brazil dan Argentina menampilkan persaingan dagang yang terlalu ketat, serta mengalami divergensi yang terlampau besar dari segi makro-ekonomi.


Brazil sebagai salah satu kelompok BRIC cukup berperan signifikan dalam memainkan mata uang Real sehingga volume perdagangannya dengan anggota Mercosur lain dapat direkayasa. Di sisi lain, peran Brazil terlihat lebih mengutamakan stabilitas makro-ekonomi kawasan daripada integrasi kawasan. Hal serupa terjadi di Asia Timur, di mana China merupakan negara yang relatif dominan dalam makroekonomi hingga ke sektor riil dengan memainkan kurs Yuan. Namun di Mercosur, proteksi terhadap komoditi utama masih boleh diberlakukan, serta perdagangan dengan pihak luar-Mercosur masih terhambat karena persoalan kurs uang.

Membandingkan pola kerja sama ekonomi di kedua kawasan, dapat terlihat bahwa selalu terdapat aktor negara terpenting dalam mengarahkan integrasi kawasan. Political will sangat berperan dalam membentuk integrasi tersebut, dan hal ini kadang harus melalui proses tekanan politik yang kolektif. Asia timur yang lebih heterogen dari Amerika Latin harus mampu membendung China dengan upaya-upaya kolektif untuk tercapainya integrasi. ASEAN juga harus mampu meningkatkan perdagangan di antara mereka sebelum mulai berdagang dengan negara lain di kawasan Asia Timur. Namun bukan berarti tidak diperlukan kesepakatan dan tindakan bersama dalam menghadapi krisis.

Secara institusional, open regionalism menjadi suatu bentuk kerja sama ekonomi yang mungkin, jika tak hendak menafikan situasi heterogen sistem politik dan ekonomi di kawasan. Serta, sekaligus menghindari ketergantungan ekonomi berlebihan yang mungkin terjadi di masa depan