Monday, May 13, 2013

Let's Talk 'Bout Basics


Kalau urusan mikir pagi siang sore malem sampai pagi lagi, tentang uang dan makanan, you boleh adu kuat sama saya. Tapi saya pastikan kalau saya tidak hanya memikirkan untuk diri sendiri. Kadang saya menerawang apa yang sebenarnya terjadi, apa makna di balik jalan susah payahnya saya berjuang hidup, sehingga saya sangat peduli dengan hal itu.



Menjadi anak kos selama lebih dari 6 tahun tidak lantas membuat saya pintar mengatur kedua hal itu. Dengan berbagai cobaan yang dihadapi, dana dan makanan seakan tidak pernah aman bagi saya.

Padahal, saya juga sangat waspada akan semua pengeluaran, soalnya bapak saya pernah bilang, kalau untuk sekolah dan makan, harusnya dananya nggak terbatas. Saya juga nggak gengsian, kalo harus berhemat di tengah teman-teman yang lagi kebanjiran duit ya santai, kalo lagi ingin beli baju atau buku ya beli aja. Lebih-lebih lagi, saya masih ada sisa uang. Untungnya saya nggak suka ngemil. Tulis majalah keuangan populer, salah satu sumber pengeluaran wanita terbesar itu ada di.... 


...cemilan.


Ah sepertinya saya terlalu banyak baca Forb*s Asia dan Bl**mberg Businesweek (baca : gegayaan beli majalah bekas berboso Enggres yang sudah lewat 3 bulan lebih). Soalnya saya hafal banget frasa ini, dan rasanya sudah jadi ayat suci : "Menabung itu suatu kebodohan, dan berinvestasi itu baru tindakan cerdas." Seingat saya itu kata-kata konsultan yang pernah ditayangkan majalah di atas, deh.

My God, i can't stand being stupid, walaupun emang selama ini bodohnya banyak juga. Sering kali banyak merasa hari-hari saya dan keuangan saya kurang efektif dan saya seorang pemboros. Bagi saya pemboros itu dosa banget, dan saya takut jadi cewek pemboros. Lagi pula, setiap bulan pasti ada plafon pengeluaran yang harus dipatuhi. Dengan usia yang produktif, prinsip saya juga adalah mengurangi dependensi sama orang tua.

Frasa di atas sudah saya anut entah mulai kapan. Saya selalu merasa ada penyesalan setiap kali membeli sesuatu, meskipun itu memang perlu. Urusan makan pun demikian, saya nggak mau bilang kalau saya tidak sedang diet, tapi sekarang lagi membatasi banyak makan di malam hari. Secara tidak sadar saya juga berhitung di setiap kali transaksi makanan, karena untuk makan kan sifatnya fixed cost, punya uang atau enggak, kebutuhan makanan harus tetap dipasok.

Menghadapi kelangkaan bahan pangan bukan hal baru bagi saya juga. Dan kalau diperhatikan, setiap tahun belakangan ini krisis pangan dan impor-imporan makin sering terjadi, baik bumbu dapur sampai gula dan garam. Yang disebut terakhir itu sungguh konyol, lihat berapa panjangnya garis pantai Indonesia yang bisa buat bikin garem.

Dari berbagai even yang terjadi seputar uang dan pangan, saya ingin sekali bisa jadi seorang yang mampu menjelaskan keruwetan di dalamnya, utamanya bagi saya. Krisis keuangan dan pangan itu sangat menyeramkan bagi saya dan akan memicu banyak hal yang lebih membuat bergidik. Perlahan keprihatinan saya pun berubah menjadi kepedulian.


Dengan kegelisahan ini, saya menjadi paham kalau rakyat kecil seperti saya ini harus ikut berjuang, karena ini masalah bersama. Privilege saya sebagai seorang akademia lulusan perguruan tinggi juga harusnya diiringi dengan kewajiban "ikut urun mikir" buat kemajuan orang banyak. Hingga sampai nanti saya tidak mikir lagi, mau keluar uang berapa untuk ini-itu, saya mau total membantu, bukan hanya sekedar berwacana untuk kesejahteraan.

Semoga ada jalan bagi kaum yang katanya "kelas menengah" seperti saya ini yang masih bergulat dengan hal-hal dasar untuk bertahan. Saat ini saya sedang belajar meneliti tentang politik keuangan dan politik-ekonomi pertanian, di balik tembok kampus. Meski dananya tidak selancar semangat tim peneliti, semoga setelah waktu diseminasi tiba saya bisa menuliskan sesuatu yang lebih penting di sini dan di tempat lain.



Berharap kecemasan kita semua cepat berhenti.