Monday, October 28, 2013

Panas

Pagi yang selalu terburu-buru. Setelah dua tahun berlalu saya menemukan bahwa saya bukanlah manusia pagi lagi. 

Tidak sempat mencari nikmatnya udara pagi yang selalu diidamkan ketika saya belum kembali ke sini. Jangankan bersemangat, ingin saja tidak, untuk bangun dan bekerja. Karena pada dasarnya saya suka sekali suasana pagi. Tapi tidak dengan suasana biasa. Dingin dan sambil lalu.

Saya benci rutinitas. Oh, bukan rutinitasnya. 

Mereka dan apa-apa yang membuatnya rutin. 

Ini buruk sekali untuk proses pembelajaran. Masa anak muda mau dibentuk dengan monoton. Seperti ceret yang cuma dipakai merebus air. 

Awet. Tapi hanya begitu saja. Dipanaskan untuk ditunggu dingin kembali. Dicuci. Diisi air mentah. Lalu dipanaskan lagi. 

Uh. 

Saya menolak hidup demikian. 

Saya emoh dipanaskan saja. Saya ingin membara. 

Monday, May 13, 2013

Let's Talk 'Bout Basics


Kalau urusan mikir pagi siang sore malem sampai pagi lagi, tentang uang dan makanan, you boleh adu kuat sama saya. Tapi saya pastikan kalau saya tidak hanya memikirkan untuk diri sendiri. Kadang saya menerawang apa yang sebenarnya terjadi, apa makna di balik jalan susah payahnya saya berjuang hidup, sehingga saya sangat peduli dengan hal itu.



Menjadi anak kos selama lebih dari 6 tahun tidak lantas membuat saya pintar mengatur kedua hal itu. Dengan berbagai cobaan yang dihadapi, dana dan makanan seakan tidak pernah aman bagi saya.

Padahal, saya juga sangat waspada akan semua pengeluaran, soalnya bapak saya pernah bilang, kalau untuk sekolah dan makan, harusnya dananya nggak terbatas. Saya juga nggak gengsian, kalo harus berhemat di tengah teman-teman yang lagi kebanjiran duit ya santai, kalo lagi ingin beli baju atau buku ya beli aja. Lebih-lebih lagi, saya masih ada sisa uang. Untungnya saya nggak suka ngemil. Tulis majalah keuangan populer, salah satu sumber pengeluaran wanita terbesar itu ada di.... 


...cemilan.


Ah sepertinya saya terlalu banyak baca Forb*s Asia dan Bl**mberg Businesweek (baca : gegayaan beli majalah bekas berboso Enggres yang sudah lewat 3 bulan lebih). Soalnya saya hafal banget frasa ini, dan rasanya sudah jadi ayat suci : "Menabung itu suatu kebodohan, dan berinvestasi itu baru tindakan cerdas." Seingat saya itu kata-kata konsultan yang pernah ditayangkan majalah di atas, deh.

My God, i can't stand being stupid, walaupun emang selama ini bodohnya banyak juga. Sering kali banyak merasa hari-hari saya dan keuangan saya kurang efektif dan saya seorang pemboros. Bagi saya pemboros itu dosa banget, dan saya takut jadi cewek pemboros. Lagi pula, setiap bulan pasti ada plafon pengeluaran yang harus dipatuhi. Dengan usia yang produktif, prinsip saya juga adalah mengurangi dependensi sama orang tua.

Frasa di atas sudah saya anut entah mulai kapan. Saya selalu merasa ada penyesalan setiap kali membeli sesuatu, meskipun itu memang perlu. Urusan makan pun demikian, saya nggak mau bilang kalau saya tidak sedang diet, tapi sekarang lagi membatasi banyak makan di malam hari. Secara tidak sadar saya juga berhitung di setiap kali transaksi makanan, karena untuk makan kan sifatnya fixed cost, punya uang atau enggak, kebutuhan makanan harus tetap dipasok.

Menghadapi kelangkaan bahan pangan bukan hal baru bagi saya juga. Dan kalau diperhatikan, setiap tahun belakangan ini krisis pangan dan impor-imporan makin sering terjadi, baik bumbu dapur sampai gula dan garam. Yang disebut terakhir itu sungguh konyol, lihat berapa panjangnya garis pantai Indonesia yang bisa buat bikin garem.

Dari berbagai even yang terjadi seputar uang dan pangan, saya ingin sekali bisa jadi seorang yang mampu menjelaskan keruwetan di dalamnya, utamanya bagi saya. Krisis keuangan dan pangan itu sangat menyeramkan bagi saya dan akan memicu banyak hal yang lebih membuat bergidik. Perlahan keprihatinan saya pun berubah menjadi kepedulian.


Dengan kegelisahan ini, saya menjadi paham kalau rakyat kecil seperti saya ini harus ikut berjuang, karena ini masalah bersama. Privilege saya sebagai seorang akademia lulusan perguruan tinggi juga harusnya diiringi dengan kewajiban "ikut urun mikir" buat kemajuan orang banyak. Hingga sampai nanti saya tidak mikir lagi, mau keluar uang berapa untuk ini-itu, saya mau total membantu, bukan hanya sekedar berwacana untuk kesejahteraan.

Semoga ada jalan bagi kaum yang katanya "kelas menengah" seperti saya ini yang masih bergulat dengan hal-hal dasar untuk bertahan. Saat ini saya sedang belajar meneliti tentang politik keuangan dan politik-ekonomi pertanian, di balik tembok kampus. Meski dananya tidak selancar semangat tim peneliti, semoga setelah waktu diseminasi tiba saya bisa menuliskan sesuatu yang lebih penting di sini dan di tempat lain.



Berharap kecemasan kita semua cepat berhenti.

Friday, April 26, 2013

I Might Be Alone, but I'm not Lonely



Saya sempat melihat-lihat situs internet amatiran buatan seorang bule tentang tips dan trik berwisata ke Indonesia. Entah apa nama web nya, saya sudah lupa, dan memang malas mengingat ingat. Terlepas dari tampilan situsnya yang rada agak-agak diluar kaidah kerapian gitu. 

Ada salah satu kolom tentang bagaimana cara bertingkah laku dan menjawab pertanyaan orang Indonesia, yang mungkin bagi mereka nyeleneh. Tips yang didaftarkan di urutan pertama ternyata bukan bagaimana cara basa-basi dengan penduduk lokal, dan cukup menggelitik saya.

"Aloneness".

Yup, topik tentang kesendirian kita dalam menjelajah. 

Maksudnya begini, kan bule memang kadang-kadang berangkat jalan-jalan secara solo trip, atau kalau bareng pun, ada kalanya mereka pergi sendiri ke tempat yang diminati. Nah, pertanyaan yang sering dilontarkan orang lokal ketika si bule beli rokok di warung atau sekedar lihat-lihat di art shop, ialah, 

"Kok sendirian?" 

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

 "Why are you by yourself?"

Rupanya si bule ini agak terganggu dengan pertanyaan seperti itu selama ia jalan-jalan di Indonesia. Ia menyarankan agar tersenyum saja kalau ditanya, atau bilang langsung kalau memang suka sendirian, karena nanti kalau dijawab pasti muncul pertanyaan susulan yang lebih annoying.

Entah, mungkin sang turis tidak suka bersosialisasi, secara tidak semua bule seperti itu. 

Saya tidak tahu di Indonesia dia ke mana saja, tapi yang menarik bagi saya itu bahwa kemana-mana sendirian itu masih tidak umum di Indonesia. Paling tidak di lingkungan saya hidup. Apalagi perempuan dan kalau sudah kelewat malam. 

Lepas dari masalah aman atau tidak, "aloneness" ini suka bikin tidak nyaman, karena orang lain rasanya memandang aneh. Saya sendiri suka pergi belanja sendiri, beli ini-itu, bukan karena tidak punya teman atau anti sosial, tidak. Rasanya lebih nyaman saja kalau tidak ada yang menunggu dan mengajak pulang duluan, tidak perlu banyak menyesuaikan diri dan benar-benar menikmati waktu. 

Kalau harus makan sendiri di tempat makan atau kantin, orang suka malas karena rasanya makan sendiri di tempat rame itu aneh. Saya juga kadang-kadang begitu. Tapi kalau di daerah di mana lebih sedikit orang yang mengenal saya, ya tidak begitu masalah, selama saya masih disibukkan dengan hape, buku, atau laptop. Pokoknya selama tidak mati gaya aja okelah.

Yang belum pernah itu nonton bioskop sendiri. Beberapa teman kuliah cewek dulu pernah cerita nonton bioskop sendirian, nonton film apa gitu yang agak gore, dan dasar anaknya pecinta film begituan, dia santai-santai aja. Tapi kayaknya saya tak bakal bisa nonton sendirian di bioskop, garing banget, bleh.

Beberapa orang pergi sendiri karena butuh banyak privasi. Salah satunya saya, yang kadang sengaja matikan telepon biar tidak diganggu, berkata kasar kepada mas-mas waitress supermarket yang sok godain saya, dan semua yang saya damprat karena mengganggu "aloneness" saya termasuk bapak saya.

Semakin dewasa, saya makin membuat jarak dengan banyak orang. Mungkin sifat saya seperti si bule pembuat situs tadi yang cukup menikmati aloneness nya tanpa alasan, laiknya penjelajah yang sedang ingin melepas penat dari terlalu banyak kontak dengan orang lain. Apalagi yang menyebalkan dan sok akrab. Yang lebih parah, ketika kita lagi capek, pengen santai sendirian, terus tiba-tiba ada yang nyerocos curhat. Konslet sudah otak saya.

Tapi orang tua saya sering kali langsung gelagapan ketika tahu saya pergi sendiri, meskipun itu hanya ke minimarket dekat kos, terus disuruh cepat-cepat pulang supaya aman. Meh, capek sekali kalau harus menjelaskan, bahwa saya bukan orang yang harus nunggu teman dulu baru berangkat ke sana-sini. Rasanya kemayu banget kalau kemana-mana harus sama dayang dan pengawal yak.

Dengan keadaan "single" sementara (ehem) ini saya ingin lebih santai, tidak ngurusi orang lain, dan ada waktu menenangkan diri.

Saya hanya ingin ajak kalian untuk biarkan kami sendiri, leave us alone at the time we are not seeking any attention at all. Bukannya introvert atau autis, tapi semua orang pasti butuh waktu sendirian, kan?

Friday, March 15, 2013

Suatu Pengalaman dengan Boyband (Indonesia)


Pernah dalam suatu hari saya naik kereta Gajayana relasi Malang-Jakarta sendirian, kira-kira pada masa saya sedang kuliah untuk gelar saya yang terakhir saya sabet ini.

Dalam kereta eksekutif ini, saya duduk, yang kebetulan menghadap layar Tv kereta meski ada beberapa saf penumpang lain di depan. Muncullah beberapa sosok pemuda yang sangat well-groomed, menari dan meliuk dengan kompak bersamaan. Saat saya tahu bahwa kelompok cowok ini ialah boyband bertitel XO-*IX, dengan sangat tidak harmonis membawakan ulang lagu Dewa yang judulnya Cinta 'kan Membawamu, saya jadi semakin tidak bisa tidur, padahal jam sudah lewat pukul 21.00.

Apa pasal?

Dengan gaya tipikal boyband a la Korea yang demen berpakaian kinky, overdone make-up, dan agak maksa sedikit cengkok bernyanyinya, mata saya juga seperti sedang nonton sesuatu yang lebih aneh dari lawakan garing OVJ. Seingat saya, "seragam" mereka dalam video klip tersebut ialah paduan hitam-berkilau dan nuansa keperakan. Lalu tatanan rambut jabrik dan ada juga yang sepintas a-la Rihanna, serta gaya koreografinya yang sepertinya punya maksud menggabungkan nuansa seksi dengan misterius. Tapi entah ya.

Namun bukan penampilan mereka yang membuat saya agak mabuk darat, meski saya sebelumnya sudah kebal sekali naik kendaraan yang goyangannya agak mahadahsyat.

Tapi simply karena mereka tidak bisa membawakan keagungan dan rasa dari lagu itu. Dari segi musikalitas, banyak sekali detil ketukan perkusi yang tidak perlu, serta sepintas sahut-menyahut lirik antar personelnya membuat lagu bagus ini menjadi turun derajat.

Padahal dengan kesederhanaan komposisi Dewa, lagu ini bisa terdengar syahdu.

nah cerita utamanya ada di sini.

Saya lalu mengirimkan post ke twitter yang mengkritik ketidaksukaan saya pada grup ini. Dan secara mengejutkan, muncul retweet dari seorang fansnya yang dengan sengit mendiskreditkan komentar saya. Oh ya, fans ini juga sepertinya masih SMA. saya membalasnya dengan menulis bahwa itu penilaian saya, terserah jika ada pendapat yang lain.

Ia tetap tak terima, dan mengatakan bahwa lagu yang mereka bawakan bagus, terbukti dari keberhasilan pemuda-pemuda klimis tersebut menancapkan lagu itu pada top-chart salah satu stasiun radio di Solo.

Entah stasiun radio apa yang ia dengar.

Lalu, ia dengan menakjubkannya meretweet saya kepada akun salah satu personel boyband nya, dan setelah saya tengok lagi timeline nya dalam beberapa hari, tak ada tanggapan dari idolanya itu dan ia pun "mengadukan" tentang saya pada teman-temannya yang lain. Mungkin sesama fans.

Oh, what a teen.

Saya generasi 90-an, dan saya juga suka beberapa boyband barat dan Asia. Ya, tetapi nggak segitunya bela-belain menjadi penggemar yang labil, yang kelihatannya harga dirinya ikut tercabik ketika idolanya dikritik. Kalau kalian (yang memang sudah dewasa lho, ya) lihat sendiri twit jaman kapan itu, pasti ngakak sendiri. 

Untung saya cepat sadar tidak untuk meladeni balasannya yang makin tak rasional dan akhirnya mem-blok akunnya. Ah, remaja jaman sekarang.Seleranya perlu dibetulin mengikuti standar kualitas konten dan musikalitas.

Bagus lagi kalau ada misinya. Ada pesan penyadaran.

Tampaknya industri musik tak butuh hal-hal begitu. One-hit maker sudah terlalu menjamur di pasaran, dan trik aji-mumpung juga menjadi sarana selebritis yang tidak bisa nyanyi untuk menaikkan popularitas. Nampaknya barat juga lagi kehilangan inspirasi. Banyak lagu bertema hura-hura, seks, dan percintaan yang dangkal menghiasi berbagai sajian hiburan on-air maupun off-air.

Saya sendiri, nggak butuh barang tak berbobot apalagi tak bermakna. Tidak selalu berat, banyak musik easy listening berlirik dalam, menggugah, dan lebih "bercerita" seperti Endah N Rhesa, Zee Avi, atau coba saja ziarahi kembali beberapa lagu Michael Jackson.

Oh ya, bagi saya musik bagus itu, paling tidak, memanjakan pendengaran, otak, dan menimbulkan pelepasan dan kepuasan.
Yang saya ingat dari perjalanan selama kurang lebih 15 jam itu, ialah kuping saya capek mendengarkan beberapa lagu dan iklan yang terus diulang-ulang dari sore sampai pagi.

Betul-betul malam yang panjang, jika harus diiringi suasana begitu.


Saturday, January 19, 2013

Fakir Sinyal

sepertinya hape itu harus dilempar ke muka provider. alasannya memiliki nilai legitimasi kuat.

bagaimana tidak.

eh sayang. masih garansi apalagi.
seorang bocah, yang sudah mau habis masa remajanya, punya dua hape yang punya nomor penyedia layanan, yakni si biru dan si merah. kau-tahu-apa-saja-mereka itu. dan kedua-duanya mengalami masalah jaringan di kala hujan.

hujan yang seharusnya memiliki muatan romantis malah berkhianat dengan menghadang sinyal hape, satu-satunya alasan untuk tetap terhubung.

tak elok mengutuki hujan karena ia takdir tuhan.

indonesia sudah merdeka. namun ia tetap dirantai batasan untuk sekedar bercakap denganku disini.

angkatan '45 pun hanya punya radio transistor, namun cukup buat Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek suroboyo untuk menyerbu hotel Yamato.

kembali pada saat ini. ia tinggal di desa,  kebanyakan warga sudah mampu membeli hape, membeli pulsa. namun tidak untuk membeli sinyalnya.

pengemis tunawisma di jembatan halte busway masih dapat mengais receh,paling tidak untuk beli nasi sayur bungkus.

lha, bagaimana dengan dia, bocah kampung yang hendak mengucap sekedar selamat tidur buat wanitanya di kota?

ke mana harus mengemis sinyal?

Tuesday, November 27, 2012

Menjadi Sadar

Saya tak pernah benar menyimpan ekspektasi, hingga beberapa lompatan waktu terakhir. 

Saya sudah agak lupa bagaimana caranya bersenang-senang secara maksimal, lupa bagaimana menjerit ketika sedang nonton film seram, lupa bagaimana harus memberi mahasiswa waktu berpikir ketika saya bertanya, lupa juga bagaimana jalan dengan santai saja. 

Semua karena target yang menumpuk. lalu target tersebut membuat kita tak menikmati diri sendiri apa adanya. Bisakah kita lalu berhenti berharap yang terbaik ?

Ini pertama kalinya saya ingin menjadi seseorang. Seorang yang notable, baik, memiliki jiwa yang kuat, sadar akan kosmos, serta memiliki jalur hidup. Benar saja, sekarang saya telah menemukan dunia di mana saya agak kuatir jika dipisahkan darinya. Saya ingin begini saja, tidak mengganggu siapapun, namun bisa menjadi diri sendiri.

Soal karir, sungguh saya ingin menjadi seorang yang kontributif, bukan hanya pintar untuk kepuasan dirinya saja. Makin sulit bagi saya untuk membaur di tempat baru, jangankan tempat baru, berbicara pada orang yang baru dikenal pun jadi agak kikuk, tak seperti ketika dulu menjadi seorang mahasiswa baru. Menyerap tambahan ilmu rupanya membuat saya jadi orang yang terlalu hati-hati sehingga tidak lepas lagi dalam bergaul. Oh ya, saya juga sudah buat resolusi untuk baca jurnal, satu judul dua hari. Biar tidak terlalu revolusioner dan kelihatan sok.

Tapi sungguh saya ingin menjadi orang yang bisa mengembangkan sebuah ilmu. Apapun yang berjalan saat ini, kepedulian saya terasa terpanggil dengan sendirinya. Makin sering saya berfikir terlalu dalam tentang sesuatu. Mungkin saya harus jadi filsuf?

Filsuf, cocok untuk membahas perkara asmara. Ah, saya tak pernah mengalami yang namanya putus sambung, dibohongi pacar, apalagi diselingkuhi. Saya benar-benar sadar pentingnya memahami esensi hubungan antar manusia ketika saya sungguh jatuh cinta seperti sekarang. Membuat kita selalu ingin mencari kekasih, dan ketika telah bersamanya ia akan kita jadikan kebanggaan.

Sungguh brilian hidup ini mendorong kita untuk selalu mencari. Tidak ada seorang makhluk hidup pun yang tak melakukan pencarian. 

Entah kata siapa, bahwa manusia ialah makhluk yang mencari makna. Ada bahasa latinnya, kok. Sehingga muncullah ilmu semiotika itu dan saudara-saudaranya.

Saya ingin sekali mencari makna. Bersama semua jurnal ini, bersamanya, dan bersama kalian juga. Saya hanya ingin bisa memercayai diri sendiri dan yakin akan kekuatan hati dan jiwa ini. 

Saya menyimpan ekspektasi, sekali lagi, atas semua ini. Saya merasa diri ini tersadar dari lena.



Tuesday, September 25, 2012

Piece of Absurdity


Selamat datang absurditas.

Itulah sepenggal deskripsi mengenai keseharian saya belakangan ini. Tak ada liburan yang memuaskan, juga tak ada kesempatan untuk rehat. Ada beberapa tugas dan target-target pribadi yang terselubung dalam aktivitas kerja, ehem, semoga tidak mengontaminasi spirit kerja itu sendiri.

Payah.

Berkecimpung lebih dalam di dunia akademik tak lantas membuat saya makin cerdik cendekia memandang suatu dilema, malah semakin emosional. Ditambah lagi, umur yang seperempat abad ini memang terasa tawar karena kurangnya rasa tenang dan ikhlas. Namun semua ini tertolong dengan rekan-rekan yang selalu mendukung dan kadang suka melempar joke sembarangan tanpa lihat-lihat perasaan.

Saya ini ada sifat melankolisnya sedikit, ternyata ya. Suka memantau perasaan sekali-kali.

Disiplin itu cara utama menghargai diri sendiri. Dalam hemat saya, disiplin malah kadang membikin kesepian, tidak menikmati hidup. Ada kalanya ketar-ketir menjalani hidup yang terus berceceran dan kurang inspirasi, namun menjadi orang bebas sepertinya bisa melepas penat.

Ya, untuk apa menjadi sempurna, kalau terjebak dalam absurditas. Tapi saya suka sekali lho kalau lihat orang teratur, serba terorganisasi, karena itu sebuah seni tersendiri. Saya berharap bisa jadi seperti itu, dan saya sedang belajar ke arah situ.

Dengan bantuan kolega yang semuanya lebih senior dari saya di sebuah --atau dua buah universitas-- saya harap saya bisa lebih "menunduk" dan mengembangkan unggah ungguh alias etika saya dalam menelusuri dunia pendidikan. Alasan utamanya, saya harus mendidik diri dulu sebelum mengarahkan orang lain. Ya, saya juga sekarang bekerja sebagai pengajar, untungnya di bidang ilmu yang saya tekuni juga.

Ah, satu lagi. Uang. Masalah kita semua. Dan itu salah satu alasan saya hijrah ke ibukota dan lebih mementingkan menemukan pekerjaan dibanding mendidik diri. Keinginan untuk mandiri mengalahkan keinginan untuk terjun ke dunia intelektualita, menggerus semangat pengabdian. Tapi, saya masih tak tahu caranya. Kalah dengan buramnya otak saya.

Namun itulah kita semua.

Karena saya absurd, nggak jelas, makanya harus banyak ikut mereka-mereka ini. Biar saya ngaku saja di sini kalau saya malu-maluin, suka bosan, dan harus banyak baca dan mendengarkan orang bicara. Tidak perlu buat resolusi, karena pasti saya langgar. Saran untuk kalian yang ingin belajar, cari figur yang tepat untuk dicontoh, dan belajarlah dengan dituntun. Jangan pernah sombong dan tidak adaptif, nanti sifat itu membunuh logika kalian sendiri.

Jangan lupa temukan tujuan hidup kalian. Dan kasih tahu saya kalau sudah ketemu. Mungkin itu jalan saya juga.

Mungkin blog ini akan dihiasi cerita gajebo yang lain.