Saturday, August 06, 2011

Text Me When You Get Home

Kirimi saya pesan saat kamu sampai di rumah.

Belakangan ini orang tua saya begitu khawatir karena saya sering ngelencer alias bepergian selama beberapa hari terakhir ini. Saya juga teramat penasaran di mana kekasih saya berada ketika ia melakukan perjalanan bolak balik dari rumahnya ke tempat lain yang cukup jauh, apalagi sendirian saja. Persamaan dari dua keadaan di atas hanya satu : ingin supaya orang yang lagi dipedulikan itu segera sampai ke rumah, agar si pencemas dapat menghela nafas lega dan melemaskan otot lehernya yang tegang.

Ujung-ujungnya terkirimlah pesan pendek lewat telepon selular yang berisi makna yang sama dengan kalimat baris pertama di atas. Ya, di rumahlah kita bisa terlindung dari udara pancaroba biang penyakit, dari godaan mas-mas yang tidak pernah bosan menyiuli saya di jalan, jambret, copet kereta commuter line, dan tawuran rakyat tertindas gara-gara tidak dapat tempat jualan. Rumah, yang kata orang berisi keramahan dan kasih sayang, lebih tepat untuk disinggahi daripada mengembara tak kenal henti. Rumah saya sih, terletak di jalan yang cukup strategis, berada hanya sekitar satu kilometer dari pusat kota. Walaupun sederhana, rumah ini lumayan enak ditinggali, banyak makanan, serta saking nyamannya saya bisa tertidur di mana saja, termasuk di depan papan seterika. Asyik kan?

Tapi saya juga ingin singgah ke rumah-rumah yang lain. Ingin mencari tahu apa yang tetangga kerjakan, berapa kucing mereka, dan apa kamar mandinya berisi sabun serta pasta gigi yang juga saya pakai. Bukan untuk membandingkan, bukan untuk menyesali apa yang saya punya. Hasrat saya hanya ingin mengeksplorasi, menjelajah, dan yang terpenting BELAJAR. Bukan hanya rumah tetangga. Rumah ibadah, rumah sakit, rumah jompo, dan juga rumah pohon.

Bukan, bukan rumah buatan manusia yang saya maksud. Maksud lebih dalam dari ini adalah menyinggahi rumah di hati dan pikiran tiap orang. Sebuah konstruksi dunia yang mereka ciptakan dari proses memahami hidup mereka sehari-hari. The home they expect to see. Saya rasa terkadang saya terlalu ingin tahu ketika saya menemukan hidup orang lebih fantastik dari yang saya jalankan. Apa yang mereka lakukan sehingga dengan kerennya mereka bisa mencapai hal yang cukup dramatis? Lalu saya berkontemplasi dan mulai juga meragu, apakah ketika saya lakukan hal yang sama dengan mereka, saya juga akan mendapatkan hasil yang diimpikan. Realita memang mahal, sedangkan mimpi itu murah.

Adrenalin masa muda saya, yang nampaknya bertanggung jawab saat saya memutuskan menjelajahi "rumah-rumah" yang lain, sambil dengan curiga melongok ke setiap detilnya. Ada yang terletak di puncak bukit, ada pula yang berdiri tak jauh di balik tanggul pemecah ombak di tepi pantai. Mendirikan rumah untuk menetap pasti memilih lokasi yang paling mantap bagi kita dan sesuai kemampuan kita, dan di dalamnya terdapat liku-liku ornamen keindahan yang menyamankan. Karena saya lumayan egosentris, saya mau rumah saya tidak bisa dimasuki sembarang orang. Lebih cocok lagi kalau pagarnya bisa menyetrum sendiri peminta sumbangan, maling, rampok, atau pengamen.

Rumahnya harus ditinggali dan didatangi hanya oleh mereka yang saya cintai. Yang mengerti bahwa saya butuh ramai dalam kerinduan dan doa, dan sepi dalam selamatan tak bermakna.

Saya hanya mencoba mengutarakan, tanpa mampu menelusuri jalan, bukit, dan pikiran manusia lain, sungguh sulit menemukan diri kita. Harus menjadi apa agar menjadi ada, serta dimana harus berumah.