sepertinya hape itu harus dilempar ke muka provider. alasannya memiliki nilai legitimasi kuat.
bagaimana tidak.
eh sayang. masih garansi apalagi.
seorang bocah, yang sudah mau habis masa remajanya, punya dua hape yang punya nomor penyedia layanan, yakni si biru dan si merah. kau-tahu-apa-saja-mereka itu. dan kedua-duanya mengalami masalah jaringan di kala hujan.
hujan yang seharusnya memiliki muatan romantis malah berkhianat dengan menghadang sinyal hape, satu-satunya alasan untuk tetap terhubung.
tak elok mengutuki hujan karena ia takdir tuhan.
indonesia sudah merdeka. namun ia tetap dirantai batasan untuk sekedar bercakap denganku disini.
angkatan '45 pun hanya punya radio transistor, namun cukup buat Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek suroboyo untuk menyerbu hotel Yamato.
kembali pada saat ini. ia tinggal di desa, kebanyakan warga sudah mampu membeli hape, membeli pulsa. namun tidak untuk membeli sinyalnya.
pengemis tunawisma di jembatan halte busway masih dapat mengais receh,paling tidak untuk beli nasi sayur bungkus.
lha, bagaimana dengan dia, bocah kampung yang hendak mengucap sekedar selamat tidur buat wanitanya di kota?
ke mana harus mengemis sinyal?