Pagi yang selalu terburu-buru. Setelah dua tahun berlalu saya menemukan bahwa saya bukanlah manusia pagi lagi.
Tidak sempat mencari nikmatnya udara pagi yang selalu diidamkan ketika saya belum kembali ke sini. Jangankan bersemangat, ingin saja tidak, untuk bangun dan bekerja. Karena pada dasarnya saya suka sekali suasana pagi. Tapi tidak dengan suasana biasa. Dingin dan sambil lalu.
Saya benci rutinitas. Oh, bukan rutinitasnya.
Mereka dan apa-apa yang membuatnya rutin.
Ini buruk sekali untuk proses pembelajaran. Masa anak muda mau dibentuk dengan monoton. Seperti ceret yang cuma dipakai merebus air.
Awet. Tapi hanya begitu saja. Dipanaskan untuk ditunggu dingin kembali. Dicuci. Diisi air mentah. Lalu dipanaskan lagi.
Uh.
Saya menolak hidup demikian.
Saya emoh dipanaskan saja. Saya ingin membara.