Mungkin akan sulit bagiku untuk memulai menulis sesuatu yang bernuansa sedikit romansa dan filosofis. Mengapa? Karena mungkin... aku seorang yang lebih praktikal, lebih menyukai proses serta pekerjaan; dan agak menafikan apa yang melatarbelakangi mengapa sesuatu terjadi. Meski begitu, aku juga mendapat manfaat dari merenungi diri dan menelusuri apa yang terus membayanginya dengan mencari penjelasan sendiri. Itulah mengapa title blog ini adalah Eva no Logy no Melancholy. Melankoli menggambarkan diriku dengan sangat tepat.
Beberapa lama belakangan ini, suasana hatiku memang terasa sedikit aneh. Sepertinya ada yang hilang. Makanya menjadikan blog ini sebuah melancholy mungkin suatu pilihan untuk menggambarkan keganjilan yang kualami. Tidak mau terdiam membaca tulisan seorang alien, yang ternyata senior saya Mas Rum, maka aku berniat membuat sudut pandang lain mengenai hal-hal melankolis. Dalam ilmu psikologi (betulkan ya jikalau salah) terdapat empat macam kepribadian dasar seseorang menurut Sigmund Freud, yaitu Sanguinis, Melankolis, Plegmatis, dan Koleris. Mungkin kalau anda tanya pada ibuku, beliau akan mampu menerangkannya dengan bahasa pemuda-pemudi Indonesia masa kini, terlebih gelar S.Psi telah disandangnya. Khususnya melankolis, dalam tinjauan ilmiahnya (memang) dilihat sebagai suatu keganjilan dan ketidakseimbangan hormonal yang menyebabkan seseorang mengalami guncangan mental. Bisa ringan bisa akut, tergantung gejala emosional yang ditimbulkannya. Hal tersebut muncul ketika seseorang mengalami depresi, takut, dan phobia yang berlebihan akan sesuatu. Hal tersebut telah diteliti sejak sebelum Masehi hingga masa Renaissance di mana semua hal dilukiskan dalam seni yang romantis dan menggugah kehalusan perasaan manusia. Mood atau suasana hati dapat tergambar ketika kita mengapresiasi sesuatu yang menyentuh hati, membuat kita ”ditekan” olehnya.
Misalkan kita mendengarkan sebuah lagu yang romantis, menonton pertunjukan yang menguras air mata, ataupun sekedar bertengkar dengan teman baik; dapat membuat pikiran rasional hilang, dan kita diambil alih oleh guncangan emosional. Banyak perilaku dan ritual, mendasarkan pada emosi akan pencapaian ketenangan perasaan. Sebut saja kaum Yahudi lama yang memuja hari Sabtu demi mendapat perlindungan batin. Kita dapat melihat bagaimana melancholy ada dalam budaya pop, saat aliran musik Emo mulai mendapat tempat di studio rekaman grup cadas. Tema yang diangkat dalam emo merupakan manifestasi sisi gelap manusia, bagaimana depresi dapat mengajak kita bunuh diri, bagaimana kita hancur karena dihantam bumerang kebaikan sendiri, dan terlebih lagi tema cinta yang diangkat juga bernuansa ”tidak bahagia”. Terlebih lagi para pengikut emo membumbui semua itu dengan musik berketukan tinggi frekuensi dan hingar bingar.
Namun lebih dari itu, aku merasa semua orang pasti mengalami ketakutan, depresi, bahkan di bawah sadar sekalipun. Melankoli yang ada di dalamnya merupakan potensi kehancuran bagi diri sendiri. Lalu kita menjadi objek kesedihan orang lain dan menjadi referensi ketidakpatutan. Di samping itu, melankolisme menjadi suatu jalan penemuan diri bagi yang menanggapinya positif. Guncangan mental ini, yang berupa kemarahan, dendam, ketakutan akan dosa dan kematian, psikosis, rasa malu, serta kebencian, sebenarnya memiliki obat yang mujarab yaitu disiplin pengendalian diri. Hal utama yang disyaratkan adalah percaya diri. Dengan memilikinya, berbagai metode dapat dilakukan untuk tidak terlarut dalam emosi. Contohnya memberdayakan pemikiran rasional, disiplin moral, berpantang dan berpuasa, seperti yang diikuti penganut Avicennan.
Jika dituangkan dalam seni, pasti melancholy akan sangat bermakna. Berbagi dengan orang lain juga dapat membuat kita mengerti bagaimana emosi harus dikendalikan. Sekali lagi, aku lebih suka memandangnya dari segi praktikal, meski sesungguhnya melankoli menjadi sesuatu yang kadang merusak, lesu, dan butuh pembebasan. Banyak sekali orang melankolis sangat menyukai hal yang berbau kebebasan, karena secara batin dan utamanya mental, mereka terkurung. Mungkin kita dapat menemukan pembebasan itu, dengan menemukan kekurangan yang sama dari orang lain yaitu penderitaan yang sama. Jika kita dapat berbagi dan merasa senang karenanya, kita akan menjadi seperti conjuctio Solis et Lunae (perkawinan mistis antara matahari dan bulan) yang dipopulerkan Carl Gustav Jung mengenai pendapatnya tentang cinta.