Di kelas, seumur hidupku belajar teori-teori, yang paling ”kena” adalah tentang pendekatan liberalis, meski tak bisa dinafikan bahwa teori realisme-lah yang paling laku di jagat perpolitikan internasional, soalnya paling relevan dalam praktiknya, baik oleh kalangan jurnalis maupun mereka yang ngendon di ranah pengajaran atau akademisi. Belum lagi banyaknya kebijakan luar negeri yang mengacu pada konsep ini, ya karena realis itu tadi, lebih melihat kenyataan bahwa negara-negara lapar mata akan kekuasaan dan membenci pemikiran munafik dan idealis akan utopia perdamaian.
Lalu, yang menjadi pembeda liberalisme dengan teori realisme adalah teori ini terasa lebih manusiawi, walaupun ada misi terselubung dalam maksud-maksud pasifis yang terdapat di dalamnya. Banyak orang menilai kebebasan yang ditawarkan dalam liberalisme adalah tidak bertanggung jawab dan absurd, padahal tidak demikian adanya. Sebaliknya jika melihat pendekatan lain seperti idealisme, realisme, dan –isme lain, kita akan melihat adanya perbedaan tingkatan manfaat dan besarnya political will yang berhasil didapatkan dari aktor internasional untuk membina keseimbangan.
Liberalisme berangkat dari kesejatian, di mana esensi hidup menjadi manusia sangat dihormati. Kebebasan, pembebasan, kemerdekaan, keadilan dan hak asasi menjadi pemersatu dalam konsensus yang selama ini dibikin orang. Dalam perkembangannya teori liberalisme lebih banyak menekankan pada hal lain selain perebutan pengaruh di bidang hard power, yaitu pengalihan perhatian orang pada teori ekonom-ekonom barat. Orang liberal tidak memusingkan bagaimana perdamaian akan tercapai atau bagaimana kesejahteraan akan mengganjar orang yang rajin, namun lebih menaruh fokus akan prosesnya. Bagi liberalis, konflik itu mendewasakan, dan orang jadi saling tergantung karenanya [baca:membentuk aliansi].
Kedua, liberalisme menganggap kedudukan aktor-aktor politik internasional adalah setara. Baik aktor negara maupun non-negara seperti non-govermental organizations atau [NGOs] dapat memiliki bargaining position yang sama besarnya dan sama berpengaruhnya. Lebih daripada itu, pengakuan akan kepentingan individu dan kelompok individu mendapat porsi yang besar, namun bukan berarti tak berbatas. Negara sebagai lembaga paling kompleks juga turut berperan dalam merumuskan berbagai kepentingan itu dan menjadikannya integral. Nah, untuk itu, individu akan berkumpul dan membentuk kelompok yang mampu menyampaikan aspirasinya, tak peduli mau gagal atau jadi booming karena yang penting adalah prosesnya. Yang penting juga adalah semua orang bisa ngomong dan tidak ada yang melarang. Dan itulah yang sangat kurang di negeri kita ini. Cuma yang tua aja yang bisa ceramah, yang tua harus didahulukan. Tanpa mengurangi rasa hormat, itu sangat feodal dan merusak keharmonisan, karena banyak hal potensial yang terpendam, yang bikin lambat maju. Kelompok minoritas ditekan dan diintimidasi. Kayaknya ada yang ketakutan tuh. Belum lagi politik identitas [yang masih tetap berdiri di Amerika sana] menambah kekuatan negara untuk bungkam dan angguk-angguk pada kepentingan masyarakat kebanyakan.
Agresifitas negara harusnya bisa ditekan dengan mengadopsi paham satu ini. Dengan menempatkan negara sebagai perumus kepentingan dan tempat sampah aspirasi, elite negara akan lupa dengan hasrat peperangan dan hopefully akan membentuk Pacific Union dengan lebih memperhatikan bagaimana ekonomi berjalan daripada beli granat dan pesawat, meski itu juga penting, sih.
Hipotesa utama dari tikus berkedok liberalis ini adalah :
Ketergantungan ekonomi antarnegara yang lebih besar akan menurunkan kemungkinan resiko akan terjadinya perang. Maksudnya, negara akan lebih senang bekerja sama daripada perang soalnya lebih menguntungkan.
Menerapkan demokrasi menjadikan kemungkinan untuk berperang menjadi lebih kecil dibandingkan dengan perebutan kekuasaan.
Tanda yang lain dari sistem yang liberal adalah terintegrasinya kepentingan dunia dalam organisasi internasional. Contoh yang paling ”jadi” adalah Uni Eropa, yang asalnya cuma bermain kerja sama di level pertambangan besi dan batu bara saja. Namun organisasi lain cenderung membiarkan dominasi tampil tanpa kontrol seperti WTO. Oh ya, liberalisme sering juga dihubungkan dengan kapitalisme dan diidentikkan dengan itu. Wah mungkin kapitalisme ini turunannya ya. Menurut Angell dan Schumpeter, kapitalisme adalah hasil dari evolusi ekonomi dunia yang akhirnya matang. Terus katanya lagi, kapitalisme juga menandai akan berakhirnya perang fisik. Kalau menurutku tidak juga. Seperti perang Irak dengan ironi war for oil-nya, ini bukti kapitalis tetap membuat peluru bersarang di kepala orang.
Konsep liberalisme menjadi kurang terang ketika ia dilihat hanya saat mati lampu, di mana orang malas dan apatis berhenti mengembangkan potensinya. Orang mempersalahkan kompetisi yang sangat ketat dalam liberalisme sebagai biang dari segala masalah penyakit sosial. Namun faktanya masyarakat dunia peduli soal ini, karena kemiskinan ternyata menular. Untuk itu digagaslah Millenium Development Goals [MDGs] yang agak macet belakangan ini. Tapi yang penting kan usaha, hehe...
Sebenarnya ada beberapa masalah yang tidak dijawab olek perspektif liberal ini. Mungkin tentang masalah tentang bagaimana perang tidak akan berakhir meski dengan kerja sama ekonomi yang masif. Perhitungan tentang proses penghentian atau minimalisasi perang masih tidak dibahas. Padahal penting untuk menunjukkan bagaimana kemajuan ekonomi sebagai fokus liberalisme akan membendung keinginan untuk berkonfrontasi dengan korelasi positifnya. Tapi satu pembelaan, bahwa liberalisme telah mampu menyadarkan orang tentang nilai kemanusiaan dan banyak menyatukan persepsi banyak gelintir para pembuat kebijakan.
Orang Jepang jaman Meiji dan Taishou bilang "fukoku kyouhei"... Negara yang kaya, militer yang kuat. Gabungan liberalisme dan realisme?